Dalam buku yang berjudul “ Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam Dalam Kurun Modren”,
membicarakan tentang perubahan dan isi pendidikan islam di Indonesia yang tidak
terlepas dari tuntutan perkembangan zaman yang dihadapinya. Hasil karya karel
a. steenbrink dengan tebal 284 halaman dengan penerbit LP3ES, yang diterbitkan
di Jakarta, dicetak pada tahun 1986. Merupakan hasil penelitian yang dilakukan
dengan pendekatan antropologi, sosiologi dan historis, memiliki kevalidan yang
sangat baik. Sehingga bisa dijadikan refrensi sebagai pijakan dalam melihat
pendidikan islam secarah utuh.
Dewasa
ini, pendidikan nasional, telah menjalankan kombinasi yang mana ada pendidikan
agama dan pendidikan umum yang telah bersatu menjadi sebuah system berupa teknologi
yang digunakan dan kurikulum/materi yang diterima oleh para peserta didik yang
diterima sekolah, madrasan dan pesantren madrsah. Namun dalam naungan departeman
yang berebeda yaitu departemen agama dan departemen pendidikan, yang sekarang
menghasilkan setigama, adanya dualism system dalam pendidikan Indonesia. Tentunya system yang terbangun sekarang
memiliki latar belakang yang cukup panjang dan rumit. Disinalah karel a.
steenbrink berusaha menggambarkan, tentang apa yang menjadi pondasi pendidikan
sekarang.
Ketika belanda datang ke indonesia, islam
sudahlah berkembang pesat, sehingga
system pendidikan islam sudah ada, namun masih bersifat tradisonal. Oleh
karena itu belanda datang dengan menerima kebudayaan asli indonesia, namun
dalam mengembangkan sistem pendidikan kolianal, dia memilih untuk tidak menyesuaikan
dengan pendidikan islam dengan alasan karena metode yang digunakan hanya
menghandalkan hafalan, dan minim terhadap pemahaman karena itu adalah kebiasaan
jelek. Yang dimaksud dengan kebiasaan jelek itu terutama adalah metode membaca
teks arab yang hanya dihafal tanpa ada pengertian.
Namun berebeda dengan sekolah zending (salah satu bentuk
sekolah kristen) mendapatkan subsidi dari kolonial karena sistem sekolah yang
diajarkan sedikit sudah pada pengetahuan (diminahasa, maluku) yang kemudian
mudah diperbaiki untuk gabung dengan sistem gaberment, ( pemahaman dan
pembelajaran sekolah zending menggunakan bahasa melayu, dan tidak serumit bahasa
arab)
Pada abad pertigaan 20, belanda menolak secara tegas untuk
mengadopsi pendidikan islam (pesantren) karena alasan politik dan kesulitan
dalam penyesuainnya, walaupun biaya yang digunakan pendidikan islam relatif
rendah, karena mereka membiayai sendiri.
Dalam perkembangannya, kondisi yang ada pada saat itu membuat
pendidikan islam mulai melakukan pembaharuan, dengan faktor pendorong sebagai
berikut. Faktor pendorong penting bagi perubahan islam di Indonesia pada
permulaan abad ini dapat dibagi menjadi 4 hal yaitu :
1.
Semenjak
tahun 1900 dibeberapa tempat muncul keinginan untuk kembali pada Qur’an dan
sunnah yang dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan agama dan kebudayaan
yang ada. Tema sentral dari kecendrungan ini adalah menolak taqlid.
2.
Dorongan
kedua adalah sifat perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial belanda.
3.
Dorongan
ketiga adalah usaha yang kuat dari orang-orang islam untuk memperkuat
organisasinya dibidang sosial ekonomi.
4.
Dorongan
keempat berasal dari pembaharuan pendidikan islam. Karena cukup banyak orang
dan organisasi yang tidak puas dengan
metode tradisional dalam mempelajari Qura’an dan Sunnah
Dari empat pokok penting yang melatarbelakangi semangat yang
melakukan pembaharuan, terlahir sebuh pemikiran yang maju, untuk membenahi
keadaan pendidikann islam pada saat itu. Maka terlahirlah pemikiran untuk
memperbaiki system pesantren yang konserfativ
dan tertinggal dengan menggantinya dengan konsep yang lebih maju, dengan
memadukan pendidikan agama dan umum, yang sekarang dikenal madrasah. Munculnya madrasah
menurut para sejarawan pendidikan sebagai salah satu bentuk pembaruan
pendidikan Islam di Indonesia. Alasannya adalah secara historis awal kemunculan
madrasah dapat dilihat pada dua situasi; adanya pembaruan Islam di Indonesia
dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia
Belanda. Dari sini dapat
diartikan bahwa munculnya madrasah mengandung kritik pada lembaga pendidikan
sebelumnya, yakni pondok pesantren. Dapat dikatakan munculnya madrasah sebagai
usaha untuk pembaruan dan menjembatani hubungan antara sistem tradisional
(pesantren) dengan sistem pendidikan modern. Dan hal ini juga merupakan sebagai
upaya penyempurnaan terhadap sistem pendidikan di pondok pesantren kearah suatu
sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang
sama dengan sekolah yang umum.
Kemunculan madrasah
dipandang menjadi salah satu indikator penting bagi perkembangan positif
kemajuan prestasi budaya umat Islam, mengingat realitas pendidikan, sebagaimana
terlihat pada fenomena madrasah yang sedemikian maju saat itu, adalah cerminan
dari keunggulan capaian keilmuan, intelektual dan kultural. oleh karenanya
timbul kebanggaan terhadap madrasah, karena lembaga ini mempunyai citra
”eksklusif” dalam penilaian masyarakat. Karena dalam catatan sejarah, madarasah
pernah menjadi lembaga pendidikan par excellence di
dunia Islam.
Dengan tercipta madrasah sebagai hasil
pembaharuan pendidikan islam, maka hancurlah dikotomi ilmu, anatara ilmu agama
dan umum. Namun dengan begitu timbulah masalah baru yaitu dualisme system.
Selain itu pendidikan islam yang bermodel madrasah dan pesantren madrasah belum
melihatkan hasil yang begitu progesifnya dalam menyelsaikan masalah-masalah
yang ada dimasyarakat, seperti :
kemiskinan, kebodohan, keboborokan moral, dan sedikitnya melahirkan generasi
yang vision. Tentunya hal tersebut menjadi pertanyaan hal yang besar, apa yang
terjadi sebenarnya dalam pembaharuan pendidikan islam, apakah mengalami stagnasi,
yang kemudian larinya dari cita-cita luhur, yang menjadi harapan umat, dan
dimana semangat pembaharuan pendidikan islam.
Meskipun semuanya sudah dijalankan dengan
menggabungan system barat dan islam, namun yang terjadi hanyalah sebuah
karikaturnya saja, yang sampai sekarang karikatur itu belum mendapatkan wujud
yang nyata.
Isma’il Raji menjelaskan secara tegas bahwa
yang merusak para generasi untuk bangkit dan mengejar ketertinggalannya adalah
kurikulum yang tidak pernah berhubungan dengan realitas dan modrenitas, hal ini
telah dipikirkan dan dirancang oleh-oleh ahli-ahli strategi kolinial. Sehingga semangat pembaharuan islam, yang
berpondasi wawasan, hanyalah isapan jempol saja. Selain itu kesiapan Negara dan
pendidikan islam, dalam memobilisasi dan mengarahkan para generasi untuk terus
melakukan pembaharuan dengan semangat menolak taqlid, sepertinya mulai redup,
dan ketidak siapan negaran dan pendidiakan islam dalam memobilisasi ini
mengakibatkan kekacuan dimana-diamana, seperti meludaknya para pelajar yang tak
terencana, masih menghasilkan kemiskinan dimana-mana (pengangguran), kebodohan,
kerusakkan moral dsbnya. Dialain itu system yang diciptakan merata dan umum
berlaku mengenai materi yang diterima, tanpa melihat kontekstual, menciptakan
stagnasi wawasan yang dimiliki, sehingga yang terjadi hanyalah copy-paste
pengetahuan yang terselubung.
Keritik terhadap buku ini, seedikit
menjelaskan bagaimana pengaruh pendidikan kolinial dalam pembentukan generasi
bangsa ini. Sedikitnya penjabaran mengenai pendidikan materi gaberment setiap
daerah yang seharus sebagai pembanding dan tolak ukur berapa jauhnya pendidikan
islam dalam memahami pendidikan gaberment atau kolonial.
Daftar Pustaka
-
Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta
: Logos Wacana Ilmu, 1999)
-
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidika Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta : LP3
ES, 1994).
-
Isma’il Raji al Faruqi, Islamisasi Pengetahuan,( Bandung : Pustaka,1995)