Laman

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 29 November 2012

Kesadaran Politik Masyarakat


Kesadaran masyarakat sangatlah penting dalam kemajuan bangsa Indonesia,  terutama kesadaran politik, karena dengan kesadaran politik barulah demokrasi dapat berjalan dengan baik tanpa ada ketimpangan. Misalnya saja permasalahan petani di bali, yang menggunakan system SUBAK yang mendapatkan penghargaan oleh UNISCO pada bulan juli 2012,  permasalahan yang di hadapi  para petani, mengenai pajak tanah, petani merasa dirugikan, karena pajak ditentukan berdasarkan tempat bukan produksi, tentunya petani sadar kalau ada ketimpangan. Lalu apakah lantasan petani harus menjual tanahnya, karena ketidak mampuan mengelolanya, tentunya tidak, disinilah peran kesadaran politik yang harus dimiliki masyarakat petani, untuk melakukan advokasi terhadap kebijakan negara yang salah tersbut.
Kesadaran poltik tentunya harus dirangsang oleh para intelektual, media dan negara, untuk menciptakan masyarakat yang sadar secara utuh, bukan sebaliknya meninabobokan masyarakat agar tidur dengan cara-cara hegomoni dan otoriter dari negara 

Senin, 05 November 2012

Lunturnya Semangat Pembaharuan Pendidikan Islam


      
      Dalam buku yang berjudul “ Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam Dalam Kurun Modren”, membicarakan tentang perubahan dan isi pendidikan islam di Indonesia yang tidak terlepas dari tuntutan perkembangan zaman yang dihadapinya. Hasil karya karel a. steenbrink dengan tebal 284 halaman dengan penerbit LP3ES, yang diterbitkan di Jakarta, dicetak pada tahun 1986. Merupakan hasil penelitian yang dilakukan dengan pendekatan antropologi, sosiologi dan historis, memiliki kevalidan yang sangat baik. Sehingga bisa dijadikan refrensi sebagai pijakan dalam melihat pendidikan islam secarah utuh.
            Dewasa ini, pendidikan nasional, telah menjalankan kombinasi yang mana ada pendidikan agama dan pendidikan umum yang telah bersatu menjadi sebuah system berupa teknologi yang digunakan dan kurikulum/materi yang diterima oleh para peserta didik yang diterima sekolah, madrasan dan pesantren madrsah. Namun dalam naungan departeman yang berebeda yaitu departemen agama dan departemen pendidikan, yang sekarang menghasilkan setigama, adanya dualism system dalam pendidikan Indonesia.  Tentunya system yang terbangun sekarang memiliki latar belakang yang cukup panjang dan rumit. Disinalah karel a. steenbrink berusaha menggambarkan, tentang apa yang menjadi pondasi pendidikan sekarang.
Ketika belanda datang ke indonesia, islam sudahlah berkembang pesat, sehingga  system pendidikan islam sudah ada, namun masih bersifat tradisonal. Oleh karena itu belanda datang dengan menerima kebudayaan asli indonesia, namun dalam mengembangkan sistem pendidikan kolianal, dia memilih untuk tidak menyesuaikan dengan pendidikan islam dengan alasan karena metode yang digunakan hanya menghandalkan hafalan, dan minim terhadap pemahaman karena itu adalah kebiasaan jelek. Yang dimaksud dengan kebiasaan jelek itu terutama adalah metode membaca teks arab yang hanya dihafal tanpa ada pengertian.[1]
Namun berebeda dengan sekolah zending (salah satu bentuk sekolah kristen) mendapatkan subsidi dari kolonial karena sistem sekolah yang diajarkan sedikit sudah pada pengetahuan (diminahasa, maluku) yang kemudian mudah diperbaiki untuk gabung dengan sistem gaberment, ( pemahaman dan pembelajaran sekolah zending menggunakan bahasa melayu, dan tidak serumit bahasa arab)
Pada abad pertigaan 20, belanda menolak secara tegas untuk mengadopsi pendidikan islam (pesantren) karena alasan politik dan kesulitan dalam penyesuainnya, walaupun biaya yang digunakan pendidikan islam relatif rendah, karena mereka membiayai sendiri.
Dalam perkembangannya, kondisi yang ada pada saat itu membuat pendidikan islam mulai melakukan pembaharuan, dengan faktor pendorong sebagai berikut. Faktor pendorong penting bagi perubahan islam di Indonesia pada permulaan abad ini dapat dibagi menjadi 4 hal yaitu :[2]
1.      Semenjak tahun 1900 dibeberapa tempat muncul keinginan untuk kembali pada Qur’an dan sunnah yang dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada. Tema sentral dari kecendrungan ini adalah menolak taqlid.
2.      Dorongan kedua adalah sifat perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial belanda.
3.      Dorongan ketiga adalah usaha yang kuat dari orang-orang islam untuk memperkuat organisasinya dibidang sosial ekonomi.
4.      Dorongan keempat berasal dari pembaharuan pendidikan islam. Karena cukup banyak orang dan organisasi yang tidak puas  dengan metode tradisional dalam mempelajari Qura’an dan Sunnah
Dari empat pokok penting yang melatarbelakangi semangat yang melakukan pembaharuan, terlahir sebuh pemikiran yang maju, untuk membenahi keadaan pendidikann islam pada saat itu. Maka terlahirlah pemikiran untuk memperbaiki system pesantren yang konserfativ  dan tertinggal dengan menggantinya dengan konsep yang lebih maju, dengan memadukan pendidikan agama dan umum, yang sekarang dikenal madrasah. Munculnya madrasah menurut para sejarawan pendidikan sebagai salah satu bentuk pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Alasannya adalah secara historis awal kemunculan madrasah dapat dilihat pada dua situasi; adanya pembaruan Islam di Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda.[3] Dari sini dapat diartikan bahwa munculnya madrasah mengandung kritik pada lembaga pendidikan sebelumnya, yakni pondok pesantren. Dapat dikatakan munculnya madrasah sebagai usaha untuk pembaruan dan menjembatani hubungan antara sistem tradisional (pesantren) dengan sistem pendidikan modern. Dan hal ini juga merupakan sebagai upaya penyempurnaan terhadap sistem pendidikan di pondok pesantren kearah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah yang umum.
Kemunculan madrasah dipandang menjadi salah satu indikator penting bagi perkembangan positif kemajuan prestasi budaya umat Islam, mengingat realitas pendidikan, sebagaimana terlihat pada fenomena madrasah yang sedemikian maju saat itu, adalah cerminan dari keunggulan capaian keilmuan, intelektual dan kultural. oleh karenanya timbul kebanggaan terhadap madrasah, karena lembaga ini mempunyai citra ”eksklusif” dalam penilaian masyarakat. Karena dalam catatan sejarah, madarasah pernah menjadi lembaga pendidikan par excellence di dunia Islam.
Dengan tercipta madrasah sebagai hasil pembaharuan pendidikan islam, maka hancurlah dikotomi ilmu, anatara ilmu agama dan umum. Namun dengan begitu timbulah masalah baru yaitu dualisme system. Selain itu pendidikan islam yang bermodel madrasah dan pesantren madrasah belum melihatkan hasil yang begitu progesifnya dalam menyelsaikan masalah-masalah yang ada dimasyarakat, seperti  : kemiskinan, kebodohan, keboborokan moral, dan sedikitnya melahirkan generasi yang vision. Tentunya hal tersebut menjadi pertanyaan hal yang besar, apa yang terjadi sebenarnya dalam pembaharuan pendidikan islam, apakah mengalami stagnasi, yang kemudian larinya dari cita-cita luhur, yang menjadi harapan umat, dan dimana semangat pembaharuan pendidikan islam.
Meskipun semuanya sudah dijalankan dengan menggabungan system barat dan islam, namun yang terjadi hanyalah sebuah karikaturnya saja, yang sampai sekarang karikatur itu belum mendapatkan wujud yang nyata.  
Isma’il Raji menjelaskan secara tegas bahwa yang merusak para generasi untuk bangkit dan mengejar ketertinggalannya adalah kurikulum yang tidak pernah berhubungan dengan realitas dan modrenitas, hal ini telah dipikirkan dan dirancang oleh-oleh ahli-ahli strategi kolinial.  Sehingga semangat pembaharuan islam, yang berpondasi wawasan, hanyalah isapan jempol saja. Selain itu kesiapan Negara dan pendidikan islam, dalam memobilisasi dan mengarahkan para generasi untuk terus melakukan pembaharuan dengan semangat menolak taqlid, sepertinya mulai redup, dan ketidak siapan negaran dan pendidiakan islam dalam memobilisasi ini mengakibatkan kekacuan dimana-diamana, seperti meludaknya para pelajar yang tak terencana, masih menghasilkan kemiskinan  dimana-mana (pengangguran), kebodohan, kerusakkan moral dsbnya. Dialain itu system yang diciptakan merata dan umum berlaku mengenai materi yang diterima, tanpa melihat kontekstual, menciptakan stagnasi wawasan yang dimiliki, sehingga yang terjadi hanyalah copy-paste pengetahuan yang terselubung.
Keritik terhadap buku ini, seedikit menjelaskan bagaimana pengaruh pendidikan kolinial dalam pembentukan generasi bangsa ini. Sedikitnya penjabaran mengenai pendidikan materi gaberment setiap daerah yang seharus sebagai pembanding dan tolak ukur berapa jauhnya pendidikan islam dalam memahami pendidikan gaberment atau kolonial.




Daftar Pustaka
-         Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999)
-         Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah SekolahPendidika Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta : LP3 ES, 1994).
-         Isma’il Raji al Faruqi, Islamisasi Pengetahuan,( Bandung : Pustaka,1995)










[1] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah SekolahPendidika Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta : LP3 ES, 1994). Hal 2
[2] Ibid hal 26 - 28

[3] Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hal 82

Kamis, 01 November 2012

Review J.M Bochanski


 Judul Review : Arti Penting Berfikir dalam perspektif J.M Bochanski
Dalam Artikel yang berjudul "apakah sebenarnya berfikir"ini, mengungkap tentang bagaimana berfikir yang benar dan baik dalam menggunkan akal, yang nantinya akan menghasilkan ilmu pengetahuan. Hasil karya dari J.M Bochanski yang diterjemahkan oleh jujun s. suriasumantri yang diterbitkan oleh PT. Gramedia yang diterbitkan pada tahun 1978  dijakarta ini, memiliki kedudukan yang sangat penting dalam memberikan pemahaman kepada para pembaca tentang makna dan cara berfikir yang baik dan benar.
Gejala yang ada masyarakat kita dalam memahami arti berfikir banyak yang memahami berfikir  hanya sebuah proses mengingat dari apa yang ia alami atau hafalan yang tidak jelas arahnya, sehingga tidak mengalami perubahan dan perkembangan, sehingga berfikir dapat dimaknai merupakan sifat pasif. Namun berbeda dengan Persepektif J.M bochanski dalam menjelaskan hakikat berfikir itu sendiri bersifat aktif yaitu : "Berfikir keilmuan atau sungguh-sungguh adalah cara berpikir yang didisiplinkan dan diarahkan kepada pengetahuan", dalam didisiplinkan kepada pengetahuan merupakan proses perkembangan ide dan konsep.[1] Perkembangan ide dan konsep merupakan proses aktif dalam mendapatkan pengetahuan.
Dalam proses berfikir untuk mendapatkan pengetahuan ada dua pola yang harus dipahami yaitu obyek yang ingin diketahui sudah ada (given) dan obyek yang ingin diketahui belum ditentukan (non-given). Tentunya dari kedua pola tersebut meiliki cara dan kerumitan sendiri, seperti pola pertama yaitu obyek yang ingin diketahuai sudah ada (given), tentunya  dalam memahami obyek tersebut diperlukan pengamatan secara kesuluruhan, berbagai segi, demensi dan latar belakang seperti yang digambarkan  mengenai "warna nokah" dalam artikel ini, yang meliputi paling tidak tujuh unsur: latar belakang, warna, demensi, bentuk, keunikan intesitas dan akhirnya si pembawa, sehingga yang harus dilakukan hanya melihat (mengamati) dan menggambarkan.[2] 
Yang kedua obyek yang diketahui belum ditentukan, sehingga proses berfikir yang harus ditempuh dalam mendapatkan pengetahuan ialah dengan "jalan menalar", sehingga "kepercayaan" bukanlah jalan yang bisa ditempuh karena kepercayaan bukanlah pengetahuan, karena jalan yang mendatangkan pengetahuan hanyalan dengan menalar atau mengamati.   
Dalam melakukan penalaran, ada sayarat yang harus diperhatikan yakni pertama harus adanya permis tertentu yang berupa pernyataan yang kebenarnanya telah diketahuai dan dapat diterima, kedua harus mempunyai cara dalam melakukan penarikan kesimpulan. Kedua syarat itu kemudian dibungkus oleh logika yang memiliki sifat analitik. Kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikri logis.[3] Dimana berpikir logis itu suatu  kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau menggunakan logika tertentu.
Perlu diketahuai dasar penalaran logika ada 2 yaitu : deduktif dan induktif. Selain itu ada aturan dasar logika dalam melakukan deduktif dan induktif yaitu aturan yang pasti dan aturan yang tidak pasti. Namun dalam mengembangkan sebuah pengetahuan, ilmu sering menggunakan aturan yang tidak pasti, sehingga hasil yang diperoleh hanya sebuah peluang. Dengan demikian ilmu pengetahuan bukan hal yang absolute kebenarannya melainkan sebuah omongkosong dan fantsi untuk mendekati sebuah kebenaran yang kekal.


[1]Bochanski, apakah sebenarnya berfikit, PT Gramedia, jakarta 1978 , hal 52 alenia 3
[2] Ibid alenia 5
[3] Juju S.Suriasumantri, filsafat ilmu, Pustaka sinar harapan, jakarta hal 43