Laman

Rabu, 18 Oktober 2017

MEMBACA MERUSAK KEBODOHANMU

Sering kali nurani bertanya tentang aktifitasku yang tak mencerminkan produktifitas, apakah itu? Ya, benar, membaca buku. Suatu kegiatan yang hanya diam melihat barisan kata yang terkadang sulit diraba maknanya.

Bukan hanya nurani saja yang bertanya, teman sekampus sering bertanya tentang hal serupa. Untuk apa membaca? Membaca adalah jendela pengetahuan, aku pikir itu jawaban yang sangat standar, nurani saja tak terpuaskan dengan jawaban seperti itu apa lagi teman.

Aku pun heran, tiap pagi sembari kekampus dan mampir kekontrakan kawan yang berlangganan koran, namun selalu digeletakkan. Maklum zaman digital orang tak perlu perangkat keras kalau hanya untuk membaca berita, bahkan buku sudah digitalkan. Heran untuk apa aku membaca.

Toh, bacaanku tak menunjang IP akademis, bahkan kalah dengan teman yang hanya bermodal "betah" di kelas dengan sekeranjang ekspektasi meraih keberhasilan di masa mendatang.

Memang bacaanku banyak yang tak bersangkutan dengan kurikulum yang dipelajari di kelas, mungkin inilah sebabnya IP selalu diambang minimal.

Kembali lagi untuk apa? Apakah orang lain akan butuh bacaanmu? Sedangkan, andaikan pulang kekampung halaman masyarakat tidak membutuhkan tumpukan bacaan. Jangankan membaca istirihatpun dalam keadaan bekerja, demi mempertahankan hidup, pagi dengan sepasang sapi dan ada juga beberapa kambing yang diajak keladang sampai sore, malam harus mengurusi aliran air ke sawah. Hidupnya sudah di uber oleh kebutuhan hidup yang memang ongkosnya tak murah.

Terkadang juga mengahabiskan berjam-jam waktu, kopi dan rokok. Lalu untuk apa membaca? Pertanyaan itu tak cukup dijawab dengan dalil "iqra'" yang menyerukan untuk membaca karena itu maknanya sangat luas. Mengapa membaca juga tak cukup dijawab dengan jawaban untuk melatih logika, meluruskan pola pikir, bukankah orang yang tingkat membacanya tinggi tingkat keberhasilannya juga tinggi seperti negara yang melek literasi, negara-negara dunia pertama.

Itu berbeda, tidak bisa di terapkan pada ku, bisik nurani. Kalau membaca menopang keberhasilan seorang toh IP ku tetap di bawah standar minimum. Oke kalau akademik bukan ukuran, lantas dalam hal bertahan hidup, misalnya untuk mandiri mendapatkan penghasilan, dalam hal itu aku juga lambat.

Jadi sebenarnya untuk apa membaca? Dapat memperluas pikiran, menambah pengetahuan. Aku pikir jawaban itu juga masih standar, karena kebanyakan motivasi hidup seseorang adalah tahta, kekayaan bukan pengetahuan.

Memang ada cerita kisah teladan tentang pentingnya ilmu pengetahuan. Suatu ketika Nabi Sulaiman ditawari oleh Allah untuk memilih antara ilmu, harta, dan tahta. Nabi Sulaiman dengan tegas lebih memilih ilmu, dan pilihan tersebut terbukti adalah yang terbaik. Dengan pilihan itu juga, Nabi Sulaiman akhirnya mendapatkan harta dan tahta sebagai raja, bahkan wanita, atas kehendak dan sepersetujuan Tuhan.

Namun, apakah ilmu yang diterima nabi sulaiman apakah dari membaca? Akupun tak tau dan nampaknya kisah itu tak cukup kuat sebagai argumen pentingnya membaca.

Nurani yang lain berbicara, membaca itu penting pernahkah kau melihat kisah-kisah pembakaran buku, ini sering di lakukan oleh pemerintah fasis, agar rakyatnya tidak tumbuh sikap kritisnya, tidak memberontak dan mudah di sergamkan.

Pernah dengar pernyataan milan kundera "Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah". Membaca merawat ingatan tentang memori perdaban, tidak mudah di goyah dengan isu basi yang didaur ulang untuk merawat kebodohan.

Masih ingat kah cerita pelarang buku yang dianggap kiri. Saat regim otoriter menguasai penuh alam fikir rakyatnya dengan menciptakan teror dan penyeragaman, muncul para pemuda yang dengan sembunyi-sembunyi mengkonsumsi buku yang di larang. Hingga menjadi praktek yang militan, karena bacaan akan membuat orang menjadi kritis dengan keadaan, menambah mental menghadapi siapapun karena membaca adalah menguasai dan membuat orang menjadi berani.

Pasti kamu tau tentang bung Hatta, salah satu proklamator yang menemukan kebebasan dengan membaca buku "Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas" begitu pernyataan bung Hatta yang pernah mengalami pengasingan di Bandanera. Orang yang tidak bebas adalah orang yang hidup dalam ketidaktahuan. Dengan membaca maka akan merusak kebodohanmu yang membelenggu.

Masih kah kau mempertanyakan pentingnya membaca?

11 komentar:

@Bn.aidit mengatakan...

Membaca! Apakah harus buku Mbah yg di baca? Maksud ku TK penting kah membaca hati seseorang ,membaca pikiran seseorang? Atau bahkan membaca lingkungan?

Unknown mengatakan...

Itu juga sangat penting sekali. Kamu ko cerdas

Unknown mengatakan...

Terutama membaca hati pacar. Hhheeee

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
@Bn.aidit mengatakan...

Tapi mbh. Membaca Alquran itu kan mendapat pahala. Lah...kalo membaca nggak tau artinya nggak tau maksudnya itu gimana mbh? Maksud ku membaca Alquran apakah hanya sebuah pengharapan terhadap pahala atau memang ingin mempelajarinya? Mungkin orang barat lebih banyak pahalanya yah dari pada muslim Indonesia dalam hal membaca ayat ayat Alquran 😄😄😄😂😂

Unknown mengatakan...

Wkwkwkwk, tetep dapet, namun alangkah lebih baik kalau paham maknanya dan bisa mempraktekannya

@Bn.aidit mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
@Bn.aidit mengatakan...

Nah...itu lah yg jadi permasalahan di kemajuan zaman ini .ternyata beribadah yah termasuk sholat baca Qur'an kok hanya sebagai formalitas saja yah mbh. Maksud ku kok beribadah mengharap pahala itu kok nggak bangeet deh. Jadi nggak ada rasa ikhlas gituh... Udh di kasih hidup nikmat rezeki kok Yo mengharap pahala. Kan beribadah itu tidak sedang bernegosiasi dengan Tuhan. Masak kita mau tawar menawar dengan Tuhan dan pahala sebagai mata uang nya 😅😅😁😅😁😅😁😅

Unknown mengatakan...

Kamu ko pinter sekali

Unknown mengatakan...

Hajar pak haji

Unknown mengatakan...

Hokya