Laman

Selasa, 17 Oktober 2017

BERDAKWAH DENGAN RAMAH 'GAK PAKE MARAH'

Masyarakat Indonesia termasuk yang jumlah penganut Islamnya sangat besar jumlahnya. Saya sebagai penganut Islam juga bangga melihat kuantitas yang wow, berarti ini merupakan keberhasilan dakwah dari da'i-da'i yang tanpa kenal lelah menyerukan kepada manusia menuju kebaikan. Da'i adalah kata kerja yang tercetak dari kata benda dakwah yang berarti menyeru mengajak dll.

Di sejarah nusantara kita mengenal sunan kali jaga yang menyelam pada lautan tanpa ikut arus, beliau yang menggunakan metode akulturasi budaya lewat wayang yang diberi nafas Islam agar lebih halus dalam mengajak kepada keimanan. Seperti yang masih bisa kita saksikan sampai hari ini adalah tradisi sekaten, yang sebenarnya adalah dua kesaksian kepada tuhan dan rosulnya. Konon kalau ingin menonton wayang tiketnya dengan mengucapkan dua kalimat sahadat, dalam bahasa arab di sebut "sahadatain" dalam bahasa jawa di sebut "sekaten".

Meminjam pak Kunto "dakwah ibarat menarik rambut dari tepung" tanpa harus merusak tepung itu, kebaikan bisa terlaksana bahkan bisa menciptakan revolusi sosial-kultural sekaligus religius tanpa harus merusak, memaksa, bahkan persekusi. Tujuan utama dakwah ialah mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridai oleh Allah. Tentunya dengan cara yang elegan seperti yang terkandung dalam Al-Nahl (16): 125 "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari JalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."

Demikian pula cara dakwah yang ramah lingkungan juga di terapkan oleh mbah Hasyim. Ketika pada tahun 1899 KH Hasyim Asy'ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng setelah kepulangan beliau menuntut ilmu dari Mekkah. Tebuireng adalah sarang perjudian, pencurian, pelacuran, potret sebuah desa yang penuh dengan masalah-masalah sosial. Akan tetapi, justru di tempat itulah KH Hasyim Asy'ari bersama istrinya, Nyai Khodijah, mendirikan sebuah ruang berukuran 6x8 meter berdinding anyaman bambu (gedheg) untuk kegiatan pengajian. Kotak ruang itu kelak pernah dilempari batu hingga senjata tajam oleh perampok di sekitar lokasi yang sama sekali belum kenal agama, namun berkat kesabaran dan kepercayaan KH Hasyim Asy'ari bahwa pendidikan akan mengubah semua sektor kehidupan manusia, kini Tebuireng adalah pusat belajar ilmu Islam sekaligus ilmu moderen yang paling disegani di Indonesia.(Kalis). Beliau menggunakan pendidikan sebagai dakwah, hasilnya sangat wow, akan tetapi butuh keteguhan hati dan kesabaran. Karena memang revolusi memang tak segampang yang kau teriakkan.

Gambaran lain


Ahir-ahir ini, kita sering mendengar pengajian yang di isi oleh da'i-da'i keras, radikal, dan sering menebarkan kebencian. Padahal Islam kan ramah

Diksi seperti bakar, gantung, serta hujatan yang di tembakkan kepada golongan/kelompok dan pada figur tertentu sudah menjamur di berbagai macam pengajian bahkan pada saat khutbah jum'at. Tampaknya memang situasi saat ini sengaja menggandeng agama untuk dukungan politik, agennya adalah para da'i, "da'i politik".

Da'i politik, ia yang selalu pada setiap acara keagaman mengkhutbahkan isu-isu yang mengarah menjelekkan bahkan menghujat lawan politiknya. Bisa lewat ceramah-ceramah langsung ataupun via (youtube), juga lewat tulisan-tulisan. Mendeteksinya gampang, mereka menggunakan agama sebagai "prolog" saja, selebihnya isinya makian, hujatan, dan kata-kata kasar lainnya. Dan selalu memanaskan situasi, khutbah-khutbah tidak selesai di majlis ataupun masjid-masjid, di bawai sampai ke jalan-jalan. Tujuannya menciptakan suasana menjadi gaduh dan menarik emosi keagamaan.

Bukan tidak boleh para da'i membicarakan politik, akan tetapi jangan sampai membawa "madlorot" bahkan mengancam persatuan. Berpolitik yang bisa menciptkan "bonum commune" atau kesejahtraan bersama, jangan hanya ambisi kuasa, bangun politik yang berlandasakan menimbang manfaat, keadilan, bukan hanya menjatuhkan lawang demi menang.

Menceramahkan pengajian politik, boleh-boleh saja, asal tidak semata-mata demi kekuasaan, menurut pak Kunto mencampurkan dua hal tersebut bagaikan membuat "kolak", orang dapat mencampur kolang-kaling dengan kelapa asal santennya cukup. Karena jika ada yang melebihi dari yang lain hasilnya akan tidak kemakan.Maksut ingin mengajak kebaikan namun berujung penolakan.

Berdakwalah dengan cara yang ramah, jangan marah-marah.

0 komentar: