Perjalanan hidup manusia di dalam ruang yang bernama semesta membuat manusia berfikir dengan kondisi disekelilingnya, karena hanya manusialah yang mampu untuk berfikir. Dari hasil kontak fikiran dengan semesta muncul berbagai macam kreasi, salah satunya adalah agama. Karena pada dasarnya manusia membutuhkan cahaya transenden untuk menerangi perjalanan kehidupan. Kemunculan agama sesuai dengan porsi kebutuhan zamannya, dalam Islam porsi yang di butuhkan adalah pembersihan tuhan-tuhan lama, ibadah diperjual belikan, aturan dagang, pembebesan budak dan lain-lain. Pada dasarnya agama adalah kenyataan sosial, karena agama tidak tampil pada suatu hakikat yang sama pada semua masa dan tempat, akan tetapi sebagai bentuk kebudayaan yang selalu bertransformasi dalam berbagai periode sejarah. Zaman pertama kali agama muncul dalam pentas sosial, agama milik orang yang termarginalkan, lalu setelah kemenangan agama lewat bukti banyak yang menyerahkan diri padanya, akhirnya agama dijalin oleh kerajaan dan diserap ke dalam masyarakat.
Perjalanan gelombang sejarah tersebut tak luput juga dari perselisihan atau pertentang yang secara simbolik mengatasnamakan agama. Pertentangan yang terjadi dalam panggung sejarah memberikan gambaran kekuatan klas. Seperti contoh khowarij, muktazilah merupakan kelompok oposisi dari penguasa. Terlepas dari semua itu semua termasuk pada pertarungan mewakili kepentingan ataukah murni karena ingin memurnikan ajaran Tuhan? Jalinan yang di buat oleh orang/kelompok yang menang itulah ajaran yang di yakini benar oleh masyarakat tanpa melihat atau menilai esensi yang terkandung didalamnya. Akhirnya penilaian terhadap agama hanyalah sebatas persekongkolan para pendeta saja untuk melanggengkan kepentingan klasnya dengan menawarkan ramuan kesabaran terhadap masarakat untuk tetap sabar menghadapi ujian hidup. Karena barang siapa yang sabar di akhirat nanti akan diberikan surga yang indah.
Dari konsolidasi antara agama dengan penguasa itulah sehingga memunculkan kritakan bahwa agama itu candu atau opium yang membuat manusia terbuai dan melupakan keluh kesah kehidupan yang nyata. Sehingga agama hanya terkesan sebagai tumpukan ritual tanpa misi yang kongkrit, hanyalah tulisan-tulisan suci yang tidak semua orang boleh memgang.
Namun pada perkembangannya agama pun berubah menjadi alat perjuangan dalam melakukan pembebasan. Seperti yang terjadi di Amerika Latin, tahun 1960-an, terjadi proses radikalisasi yang berkembang dikalangan orang-orang kristen. Fenomena yang menjadi sorotan saat itu adalah gerakan yang dipimpin oleh Romo Camillo Torres, dengan mengorganisir suatu gerakan rakyat yang militan. Kemudian disusul dengan terbentuknya organisasi Romo-Romo untuk Dunia ketiga. Mereka menafsirkan ulang kitab sucinya sesuai dengan praktek-praktek kehidupan nyata mereka sebagai panduan aksi-aksi pembebasan. Setting latar dari kemunculan ini dipicu oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal; setelah Perang Dunia II muncul pemahaman-pemahaman baru terhadap agama serta lebih terbuka untuk mengkaji ilmu sosial modern. Faktor eksternal; keterbelakangan, kemiskinan mewabah sebagai akibat dari industrialisasi yang dimotori oleh modal Modal Multinasional, pada tahun 1959. Revolusi Kuba meletus sebagai tanda babak baru dalam sejarah Amerika Latin yang di tandai oleh semakin meningkatnya perjuangan sosial.
Dalam dunia Islam kita akan bertemu dengan Asgar Ali Enginer, dia memandang agama itu muncul untuk menghilangkan praktik penghisapan yang dilakukan oleh kaum Qurais. Jual beli manusia atau praktik perbudakan juga masih menjadi tradisi. Meminjam istilah Gramisi- muncullah intelektual yang tumbuh dari kelompok organiknya, yang akan memberi dorongan perubahan- Sedang di India muncullah Asgar sebagai konseptor melawan Pimpinan Bohras. Kondisi di India banyak orang miskin, terlantar, orang yang tak tentu nasibnya, pada masa pasca-kemerdekaan India terjadi banyak kerusuhan.
Setting teologi pembebasan Asghar lebih menekankan aspek praksis, dalam artian lebih menuntut kebebasan akan otonomi manusia yang mempunyai komunikasi secara dialektis terhadap kondisinya dan kondisi disekitarnya. Dasar itu digunakan sebagai pijakan praksis. Pandangan Asghar dianggap mengancam segala bentuk kemapanan yang mengeksploitasi kaum lemah.
Pembebasan teologi dilakukan untuk membangun teologi pembebasan, karena teologi yang ada cenderung ke arah filosofis-metafisik yang ambigu dan abstrak yang menyebabkan aktifitas keagamaan mengalami kemandekan. Karena hanya bersifal ritualistik semu, dogmatis yang membingungkan. Sehingga bagi Asghar agama seperti itu dikatakan mistik dan hanya untuk menghipnotis masyarakat.
Agama tidak boleh berhenti pada urusan akhirat ataupun duniawi saja, tetapi harus dapat menjaga relevansinya. Sehingga agama menjadi hal dinamis. Bagi Asgar agama harus menjadi sumber motivasi bagi kaum tertindas untuk mengubah keadaan mereka dan menjadi kekuatan spiritual untuk mengkomunikasikan dirinya secara signifikan. Dengan memahami berbagai aspek spiritual yang lebih tinggi dari realitas ini, disamping mengakui konsep metafisika tentang takdir dalam rentang sejarah umat Islam, juga konsep bahwa manusia itu bebas nilai, konsep ini dipandang sebagai tawar menawar antara kebebasan manusia dan takdir (tidak baku).
Dalam kondisi saat ini di Indonesia, di mana suasana pemikiran dan praktik pembebasan terasa sayup bahkan beku, sehingga praktik-praktik penghisapan, penindasan, masyarakat tercerabut dari hak miliknya, apalagi fenomena agama yang sudah menjadi komoditi atau jajanan pasar, dari itu perlu kita kembali kaji bersama tentang teologi pembebsan. Tentunya dengan evaluasi kritis dan menyesuaikan dengan gejala-gejala yang terjadi. Pemahaman-pemahaman yang sudah mapan harus kembali digugat dan diberi pandangan value agar kebekuan yang terjadi mampu di cairkan.
0 komentar:
Posting Komentar