Laman

Kamis, 19 Oktober 2017

PERJUANGAN VIA PENA

Setelah membaca sepak terjang Tirto Adi Soerjo, rasanya memang benar kalau pena lebih tajam dari pedang. Ketika pedang sekali tebas dapat merobohkan satu lawan, namun kehendak pena lain, karena sekali gores ribuan orang dapat tersudut dan mati, kehendak pena dapat menggerakkan dan menyatukan ribuan orang dalam satu kekuatan. Seperti yang tergambarkan dalam penggalan syair yang menceritakan tentang sosok Tirto Adi Soerjo.

Peladjar STOVIA di Djakarta
Penulis pembela bangsa
Membasmi sifat pendajajah Belanda
Dengan tulisan yang sangat tadjam penanya
            Membuka sejarah djurnalistika
            “Medan Prijaji” warta hariannya
            “soloeh Keadilan” dan “Poetri Hindia”
            Ada dalam pegangan redaksinya
Penggalan syair diatas adalah penggalan dari karangan Priatman yang memberi gambaran tentang perjuangan orang pribumi yang bersenjatakan pena dalam melawan penjajahan yang dilakukan oleh belanda. Kreator perjuangan jalur jurnalistik ini lahir dari golongan bangsawan, yaitu R.M Tirto Adi Soerjo (1880—1918). Selain mahir dalam dunia jurnalistik, ia juga mahir dalam berorganisasi, ia adalah pendiri organisasi modern pertama Sarikat Prijaji pada tahun 1906. Kemudian ia juga mendirikan organisasi sekaligus gerakan yang ada di Solo yaitu Sarikat Dagang Islam pada tahun 1909. Masa hidup Tirto relative singkat, akan tetapi manis perjuangan Tirto abadi dan bermanfaat untuk pribumi. Tirto bercita-cita mengangkat harkat dan martabat bangsanya, bangsa yang masih dianggap sebagai setengah manusia menjadi manusia utuh yang dapat memperoleh hak-hak sebagai manusia sejati dan tidak terjajah.

Tirto adalah cucu dari R.M.T Tirtonoto, bupati Bojonegoro, yang sebelum 1827 bernama Rajegwesi, karisedenan Rembang pada masanya. Dia adalah bangsawan yang jenius dan sadar bahwa negerinya sedang dijajah. Kejeniusannya membuat asisten Residen Wolff Van Wes Terrode terpikat dengannya, Tirto banyak ditawari jabatan sebgai pegawai negeri, salah satunya ia ditawari jabatan pada lembaga dinas pembasmian lintah darat. Namun tirto tetap dengan sikap mandirinya dengan tegas menelok berbagai macam jabatan yang ditawarkan. Bagi dia pegawai negeri hanyalah suatu penghormatan semu. Lebih baik berdiri dikaki sendiri dari pada menetek pada penjajah yang telah menguras keringat dan darah rakyat.

Sikap mandiri yang dimiliki Tirto merupakan warisan dari neneknya yang masih keturunan pangeran Samber Nyowo. Dalam tatanan masayarakat feodal—yang penuh hirarki, unggah-ungguh—bangsawan/priyayi dapat mengakses jabatan dengan mudah, namun sewaktu kecil neneknya telah memberikan pondasi yang kokoh terhadap  Tirto. Neneknya selalu berpesan padanya untuk menjadi orang yang percaya pada diri sendiri, berdiri diatas kaki sendiri, tidak takut pada kemiskinan, tidak takut tidak berpangkat.
Tirto mengenyam pendidikan model Eropa, di masa kecil ia belajar di Europeesche Lagere School (ELS) kemudian ia melanjutkan sekolah dokter di STOVIA, pada waktu itu bangsawan yang melanjutkan ke sekolah STOVIA tergolong langka, karena merka lebih memilih sekolah persiapan untuk pegawai negeri sipil. Waktu sekolah di STOVIA ia tinggal di Betawi, yang jauh dari kultur masyarakat feodal yang selama ini membelenggunya. Dari sinilah kemampuan jurnalistiknya mulai tumbuh dan berkembang ia piawai dalam bidang jurnalistik dan pandai mengarang, karangan fiksinya antara lain; Cerita Nyai Ratna, 1909, Membeli Bini Orang, 1909, Busono, 1912. Selain itu berbagai macam pers yang ia dirikan antara lain; Medan Prijaji, Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia.
Diwaktu muda ia terpengaruh oleh Wijbrands seorang pemimpin Pres yang piawai. Hebungan mereka relative singkat meraka berada dalam satu atab Pemberita Betawi. Dari Wijbrands Tirto berhasi menjadi pemuda yang dapat membuat presnya sendiri dan mampu mengelolanya dengan baik, selain itu ia juga mendapat motivasi untuk mempelajari hukum-hukum belanda yang memiliki keterbatasan. Dari proses inilah ia dapat mengetahui hak-hak dari masyarakat pribumi dan batasan-batasan kekuasaan Belanda.
Pers sebagai penyuluh keadilan
Setelah dirasa cukup menimba ilmu dan pengalaman, Tirto mendirikan persnya sendiri dengan dana dari harta benda yang ia miliki, selain itu ia juga mendapat suntikan dana dari bupati baik dan santun dri Cianjur. Dari proses itulah Soenda Berita berdiri pada februari 1903. Sewaktu Tirto masih menggeluti dunia tulis menulis milik asing, sudah terlihat jelas kekritisan dan keberpihakannya. Dalam tulisannya ia pernah membongkar skandal jabatan yang dilakukan oleh petinggi kolonial.
Setelah ia mampu mendirikan persnya sendiri ia tuangkan gagasan-gagasannya, memadukan dagang, pers, dan memajukan bangsa. Ia mampu mengorganisasi para petani, pedagang pinag, dan produksi desa, sehingga dapat meningkatkan pendapat ekonomi penduduk desa. Sampai ahirnya ia mendirikan Medan Prijaji tahun 1907,dalam surat kabar ini ada beberapa ide yang progresif. Ide-ide ini menjadi dasar dan tujuan dari didirikannya Medan Prijaji. Tujuan-tujuannya antara lain; meberikan informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum.

Dari aktivitas yang dilakukan Tirto Adi Soerjo mencerninkan kaum priyayi/bangsawan yang rela menanggalkan kelasnya, status sosialnya yang menurut dia “kontra produktif”, ia meninggalkan itu semua demi kemajuan bangsanya. Selaian itu ia tidak hanya berdiri ditengah jalan melainkan disisi kiri jalan bersama kaum pribumi yang masih dianggap sebagai setengah manusia yang hidupnya hanya bertugas memeras keringatnya sendiri. Dengan pena ia memimpin perjuangan bangsa untuk dapat menentukan nasibnya sendiri. Walaupun pada ujungnya pengasingan di lampung, dan itu adalah resiko yang ia dapatkan dari perjuangan yang ia lakukan dengan sadar. Perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat bangsanya.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Joss

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.