Laman

Selasa, 24 Oktober 2017

PARASIT LAJANG

Berawal dari sebuah kejenuhan membaca buku rekomendasi dari dosen yang sulit di pahami dan hanya membuat ngantuk, kalau gak ngantuk hanya membuat migrain kambuh, maklum membaca buku di zaman yang serba mewah sekarang tidak menjadi trand, yang ngetren adalah membaca status. Aku tak bisa membayangkan mahasiswa  angkatan 65 dengan jargonnya BUKU, PESATA, dan CINTA, mungkin mereka semua kena migrain, dan pada ahirnya rasa sakit itu dilampiaskan kepada bung Karno. Untungnya aku terlahir di zaman perayaan kemewahan secara besar-besaran, zaman ini (dilingkungan kampus) ditandai dengan munculnya jargon baru yaitu NKK-BKK (Nongkrong Kos Kampus. Burjo Kos Kampus)
Sebagai mahasiswa jurusan sejarah -di era NKK-BKK- seharusnya buku merupakan teman intim untuk memperluas prespektif  akan pemahaman sejarah. Tapi, rasa males, rasa lapar, main game, main gadged, mainin anaak orang dapat menghilangkan mod untuk berbuat baik. Untuk mengalihkan kegiatan yang kontra produktif itu aku mebaca Si Parasit lajang. Buku ini ditulis perempuan metropolitan yang pandai bergaul dan menggauli, perumpuan merdeka yang berani mengatakan hal-hal yang dianggap tabu oleh masyarakat. Dia juga pernah menulis Novel Saman yang berhasil mencerahkan para perempuan dari hegemoni mantra DARMA WANITA zaman Orba yang telah berhasil mendomestikkan peran perempuan. 
kodaiobscura.wordpress.com
Buku ini ditulis  tahun 2003, terbitan yang ketiga februari 2015. Sosok ayu utami yang tidak se ayu namanya memcoba menawarkan cercaan-cercaan terhadap nilai yang sudah mapan, benturan budaya, mengungkap hal-hal yang dianggap tabu, mengusung aroma posko, feminisme. Judul si parasit lajang ini terinspirasi dari statement feminis jepang, yang mengatakan orang singgel, bekerja dan masih tinggal sama orang tuanya dianggap sebagai singgel parasit.
Kisah yang terukir selama rentang 10 tahun ini didahaului dengan pernyataan alasan tidak kawin, baik secara sosiologis ataupun biologis. Bagi dia pernikahan bukanlah merupakan suatu kuwajiban (orang boleh tidak menikah), perselingkuhan tidak selamanya buruk, dan perempuan harus berdaulat atas tubuhnya sendiri. Selain itu dia juga menjelaskan tentang hukum negara yang berpihak kepada kaum laki-laki, hukum pernikahan di Indonesia selalu menempatkan suami sebagai kepala keluarga, menurut dia tentang siapa yang menjadi kepala keluarga, atau apa harus ada kepala keluarga, serahkan saja pada pasangan yang menikah. Biar itu menjadi urusan pribadi orang. Jangan jadikan aturan negara. Sebab, itu tidak adil dan tidak benar. Praktiknya, banyak sekali istri yang menjadi tulang punggung keluarga, tetapi ia tidak mendapatkan pengakuan, perlakuan yang layak sebagai pencari sumber nafkah utama. 
Selain itu, manusia selalu memproduksi nilai-nilai keskralan dalam pernikahan, salah satu usaha yang dilakukan adalah pengagungan terhadap prosesi pernikahan dibalut dengan kemewahan, padahal yang realistis adalah hal setelah pernikahan itu sendiri. Alasan si parasit lajang ini awalnya sangat sederhana. Sejak kecil ia melihat masyarakat mengagungkan pernikahan. Ironisnya dongeng Cinderela, putri salju, putri tidur, pretty woman tamat pada upacara, dentang lonceng, tukar cincin, atau ciuman pada balkon. Artinya tak ada dongeng tentang pernikahan itu sendiri.
 Pernikahan dalam budaya masyarakat dianggap hal yang sangat sakral, jodoh dalam pernikahan adalah takdir, bahkan disejajarkan dengan kelahiran dan kematian. Pesan yang disampaikan ayu bahwa proses kelahiran dan kematian adalah proses alamiah, sedangkan pernikahan adalah konstruksi budaya. Termasuk tentang  cinta, cinta  itu yang membentuk adalah  “keseringan”, keseringan lihat, keseringan kumpul dan keseringan-keseringan yang lain, ibarat candu, keseringan itu mengakibatkan candu, sedangkan candu yang diderita seluruh orang adalah norma, itulah hakikat kausalitas tak berujung. 
Tulisan yang diangkat dari aktifitas sehari-hari yang dilakukan oleh mbak ayu dengan kawan-kawan nya dan rekaman yang bernada kritik sosial terasa di awal tulisan sampai penutup.
Si penunulis tampil sebagai juri penilai dari kondisi sosial, nilai-nilai yang telah mengalami pergeseran yang disebabkan oleh kapitalisme. Sijuri ini adalah cewek kelas menengah yang tinggal di kota. Konon kelas ini paling terdekte dengan kapitalisme. Kumpulan kolom ini menunjukkan bahwa orang bisa bersikap kritis bahkan sambil tetap berada dalam lingkup kehidupan kaapitalistis. Orang bisa menyukai barbie, film porno, fesyen, mal sambil tetap bisa bilang bahwa semua itu bisa menerkam manusia dan kita harus cerdik-cerdik bergumul dengannya, seperti seorang pawang bermain dengan hari mau sirkus.
Ia juga mencatat tentang pergerakan nilai-nilai yang terjadi di masyarakat dengan lucu. Jika ada pesan dalam buku, maka itu adalah demikian: di zaman ini, larangan tidak memadai lagi untuk bekal manusia berhadapan dengan tantangan. Yang di butuhkan adalah kecerdikan. Begitulah kira-kira pendapat si pengantar dalam buku ini.

0 komentar: